• ENTITAS MANUSIA



    Sebagaimana ilmu yang lain,tasawuf pun memiliki objek atau lapangan dan sasaran pembahasannya tersendiri. Yang menjadi objek kajiannya ialah jiwa manusia. Tasawuf membahas tentang sikap jiwa manusia dalam berhubungan dengan Allah dan sikapnya dalam berhubungan dengan sesama makhluk. Dalam hal ini tasawuf inginmembersihkan hati itu dari sifat buruk dalam rangka hubungan tersebut. Bila hati sudah suci dan bersih dari noda dan kotoran, niscaya akan baiklah kehidupan manusia tersebut.
    Allah Swt. Telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik penciptaan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia dikaruniakan beberapa potensi yang sangat istimewa yaitu hati,jiwa,dan ruh. Potensi tersebut akan mampu membuat manusia memiliki derajat yang tinggi dibandingkan dengan malaikat apabila digunakan dan dimanfaatkan dengan baik dan sesuai dengan petunjuk Allah Swt.
    Namun, potensi-potensi tersebut dalam waktu-waktu tertentu malah dapat menghinakan dan menjatuhkan derajat manusia ke tempat yang serendah-rendahnya tempat kembali. Hal ini dapat saja terjadi apabila manusia tersebut tidak pandai dan tidak bijak dalm menggunakan potensi-potensi tersebut dengan selalu meremehkan dan tidak memperdulikan peringatan serta aturan agama Islam yang telah banyak diserukan.
    Maka demikian pentingnya sehingga pembahasan mengenai potensi tersebut yaitu hati, jiwa, nafs, dan ruh merupakan suatu materi yang sangat perlu untuk dibedah dalam ranah ilmu pengetahuan dalam segi bentuk tasawuf. Karena manusia merupaka suatu entitas yang didalamnya terdiami beberapa unsur yang menjadi suatu kehidupan. Dengan begitu, dapat memberikan pemahaman tentang keadaan yang sebenarnya pada diri manusia itu sendiri yang nantinya bisa memberikan kontribusi terhadap Mahasiswa atau pembaca mengenai bagaimana bersikap lebih bijak sebagai manusia terhadap tingkah laku didalam kehidupan sehari-hari. Dan mencapai cahaya Tuhan.

    II. PEMBAHASAN
    1.1 RUH
     Membicarakan tentang ruh merupakan tindakan berpura-pura, sedangkan para sufi jauh dari prilaku dan sifat berpura-pura. Oleh karenanya, pembicaraan mereka tentang ruh berkisar pada dua hal: mengembalikan ruh pada pengetahuan asalnya dan pada kesempurnaan pengabdianya. Allah SWT berfirman:
    “dan mereka bertanya bertanya tentang ruh. Katakanlah,: ruh itu termasuk ruh itu urusan tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-isra:85)
    Ubai bin Kaab berkata: dia menumpulkan mereka, maka dijadikanlah mereka sebagai ruh-ruh kemudian membentuknya dan menanyai mereka, maka mereka berbicara. Lalu Dia mengambil janji dalam kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berkata): ”bukanka aku ini tuhanmu? Mereka menjawab “betul” (HR. Ahmad bin Hambal).[1]

    a.      Pengertian tentang Ruh
    Kata Ruh berdekatan maknanya dalam istilah Barat dengan spirit, atau aspek jiwa yang bersifat non individual, yakni intellect atau nous.Dalam Al Qur’an penggunaan istilah ruh untuk beberapa makna, diantarany: 1) m i pada ayat: (demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu dari urusan Kami), dan sebagainya. Dari keterangan di atas. Ruh memiliki dua konotasi :
    ·         Ruh biologis, pembangkit gejala hidup organis biologis (fisika-kimia).
    ·         Ruh budaya, pembangkit kehidupan sosial budaya.[2]
    Ruh adalah essensi/ substansi ke-Tuhanan yang diletakkan dalam jasad. Ruh merupakan sumber kehidupan dan sumber moral yang baik. Ia merupakan sesuatu yang halus, bersih, dan bebas dari pengaruh hawa nafsu. Ar-Ruh Adalah hakikat dari manusia yang dengannya manusia dapat hidup dan mengetahui segala sesuatu yang bersifat spiritual. Ia adalah zat murni yang tinggi, hidup, dan hakikatnya berbeda dengan tubuh. Semua manusia memiliki ruh sebagai potensi untuk mengetahui mengetahui eksistensi Tuhan dan merasakan keberadaan Tuhan, namun tidak semua manusia dapat memfungsionalkan potensi ruh tersebut.
    Ruh adalah daya (sejenis makhluk/ciptaan) yang ditupkan Allah kepada janin dalam kandungan (Al-Hijr:29) ketika janin berumur empat bulan sepuluh hari. Walauun dalam istilah bahasa dikenal adanya istilah ruhani, kata ini lebih mengarah pada aspek kejiwaan, yang dalam istilah Al-qur’an disebut nafs. Dalam diri manusia, ruh berfungsi untuk:
    1.      Membawa dan membawa wahyu (Qs. As-syuara:193)
    2.      Menguatkan iman (Qs. Al-mujadala:22)
    Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa manusia pada dasarnya sudah siap menerim beban perintah-perintah Allah dan sebagai orang yang dibekali dengan ruh, seharusnya ia selalu meningkatkan keimananya kepada Allah. Hal itu berarti mereka yang tidak ada usaha untuk menganalisa wayu Allah serta tidak ada usaha untuk menguatkan keimananya setiap saat berarti dia menghianati ruh yang ada dalam dirinya.[3]
    Menurut Al-Ghazali kata al-ruh mengandung dua pengertian. Pertama, jenis yang halus (jinsun lathifun). Sumbernya dari hati lalu tersebar ke seluruh tubuh (tajwifu al-qalb al-jasmani) dengan perantaraan otot dan urat yang beragam jenisnya. Mengalirnya ruh dalam tubuh dan membanjirinya cahaya hidup yang berupa perasaan, penglihatan, pendengaran, penciuman, adalah menyerupai cahaya lampu yang menerangi semua sudut dan terus menyinarinya. Hidup itubagai cahaya yang menerangi dinding, sedangkan ruh adalah lampunya. Jalan ruh dan bergeraknya pada batin seperti gerak lampu yang menyinari segala sudut ruang yang digerakan oleh pergerakanya. Ruh dalam pengertian inilah disebutkan oleh para dokter oleh sebutan jiwa.
    Pengertian kedua, adalah yang halus pada manusia, tidak termasuk dari bagian jasmani manusia, tapi termasuk bagian dari ruhani maunusia, yang dapat mengetahui merasa segala sesuatu, dan dapat menangkap segala pengertian (al-lathifah al-alimah al-mudzrikah min al-insan) ia dapat mengenal dirinya sendiri dan tuhanya. Juga dapat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, berpikemanusaan, berakhlak mulia yang berbeda dari binatang. Ruh ini dapat meneri printah dan larangan dari Allah SWT. Juga bertanggung jawab atas gerak-gerik hati, tingkah laku, serta perbuatan-perbuatan. Ruh pulalah yang memengang komando dalam seluruh aktifitas kehidupan manusia. Inilah ruh yang dimaksud oleh Allah: “qul al-ruh min amri rabbi”.[4]
    Socrates berpendapat bahwa ruh dan jiwa tidak dapat dilihat karena bukan merupakan benda atau suatu yang terdiri atas benda seperti waarna, karena dia bukan benda maka ruh tidak tersusun dari beberapa unsur. Karenanya ruh simple, tidak berubah, dan tidak dapat rusak. Setiap benda selalu berubah dan dapat rusak, karena terdiri dari beberapa unsur. Dan ruh itu kekal adanya, tidak seperti benda.
    Ruh dibadan berdiri sebagai raja, memerintah, sedangkan badan diperintah. Ruh berderajat tinggi dan mulia, ruh mempunyai sifat-sifat ketuhanan, tidak dapat lenyap dan rusak sekalipun sudah berpisah dengan tubuh. Hanya tubuhlah yang rusak bila bercerai dengan ruh. Ruh saat berpisah dengan tubuh ia tetap utuh, ia tetap memiliki pengertian dan kesadaran, mengalami kesenagan dan kemerdekaan, atau kesengsaraan dan penderitaan, semuanya bergantung dengan keadaanya hidup bersama badan. Bila hidup manusia bergelimangan dosa, kekejian, kejahatan dan pemuasan syahwat jasmani maka ruh setelah berpisah dengan tubuh tidak akan memperoleh tempat bahagia, selalu ada dalam penyesalan dan peenderitaan yang tak bertepi.
    Adapun ruh-ruh yang mulia, yang semasa hidupnya bersih dari dosa, kesalahan, dan kejahatan, maka ruh yang seperti it uterus menaiki kea lam yang lebih tinggi yang dinamai Socrates sebanaga “illahi”. Keyakinannya pada pendapat itu telah membawanya pada hukuman mati. Descartes berpendapat bahwa ruh dan jasad adalah dua substansi yang masing-masing pada wujudnya sendiri. Dua wujud yang masing-masing terpisah darinya. Sekalipun ruh ituh terdapat pada tubuh manusia, tapir uh dan tubuh tidak menjadi satu, karena masing-masing berlainan dan berbeda sifat asal kejadianya, keduanya tidak mungkin menjadi satu. Tubuh membutuhkan ruh karena ruh lah yang memberikan kehidupan akan tetapi ruh sendiri tidak membutuhkan tubuh. Tanpa tubuh ruh tetap dapat hidup. Sebab ruh lebih uasa daripada tubuh, karea yang menjadikan tubuh menjadi hidup adalah ruh, maka mustahil ruh itu dapat mati.[5]

    b.      Klasifikasi Ruh
    Al-Gazali mengklasifikasiakan ruh menjadi dua bagian: 1. Ruuh material. Dalam ruh material dalam bentuk uap yang membimbing seluruh raga atau tubuh  2. ruh lembut (lathif) yang menjadi tempat pengetahuan dan tempat insfirasi, banyak kaum sufi berpendapatbahwa ruh adalah esensi manusia, dan bahwa ruh adalah milik Allah, karena Al-qur’an berbicara: “ruh adalah urusan tuhanku.
    Pada awal penciptaanya, ruh tau akan Allah, menyatakan bahwa ia mengabdi dan beribadah kepadanya. Dan juga tahu bahwa Dia juga tuhanmu. Namun setelah penyatuanya dengan jasad secara tiba-tiba, dating kepadanya sifat keterasingan dan kebuasan sehingga pengetahuanya akan Allah dan penghambaanya kepada-Nya menjadi hilang. Hal itu merupakan dampak negative dalam keterasingan dan kebuasan tersebut, selin juga dikarnaan dampak pengaruh lapangan. Ruh terpengaruh oleh sejumah factor yang mengeliinginya, dan sedikit banyak factor-faktor itu berdampak pada pengetahuanya yang murni mengenai Allah dan pengabdianya pada-Nya. Tidak sedikit orang yang terjerumus pada tindakan melampoi batas yang dapat menjauhkan dirinya dari fitrah, atau terjerumus dalam kelalaian yang menjauhkanya dari pengabdian kepada Allah.
    Ruh harus kembali pada pengetahuanya yang tersempurna kepada Allah. Ini artinya, manusia dituntut untuk mewujudkan asma Allah berikut penghambaan yang sempurna kepada-Nya. Jalan yang harus ditempuhnya dengan memiliki ilmu yang benar, bergaul atau belajar kepada ahli suluk dan melakukan dikir kepada Allah.[6]

    1.2 Hati
    Dikenakan pada dua hal : Pertama, segumpal daging sanubari yang terletak disebelah kiri dada. Ia adalah daging yang istimewa, didalamnya terdapat rongga yang berisikan darah, itulah sumber dan pusat dari ruh. Ia adalah sepotong daging yang tidak berkadar, berasal dari Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang tampak, karena hal itu dapat diketahui oleh binatang dengan indera penglihatannya sebagai kelebihan dari manusia.
    Makna kedua, rasa ruhaniah yang harus yang berkaitan dengan hati jasmani, dan perasaan halus itu adalah hakikat dari manusia. Ialah yang tahu, mengerti dan paham. Ialah yang mendapat perintah, yang dicela, diberi sanksi dan yang mendapat tuntutan. Maksud dari kata ‘hati’ dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah hati yang paham dan mengetahui hakikat segala sesuatu, kadangkala dikiaskan pada hati yang terdapat dalam dada. [7]

    1.      Terminologi Hati dalam Ilmu Tasawuf
    Pembicaraan tentang hati dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sangatlah banyak :
    ·         Pertama, hati yang buta : Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang didalam dada. (QS. Al-Hajj: 46)
    ·         Kedua, hati yang kasar : … agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang didalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. (QS. Al-Hajj: 53)
    ·         Ketiga, hati yang sakit : Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. (QS. Al-Baqarah: 10)
    ·         Keempat, hati yang terkunci dan tertutup : Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. (QS. Al-Muthaffifin: 14) dan Allah telah mengunci mata hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup. (QS. Al-Baqarah: 7)
    ·         Kelima, hati yang memperoleh kesehatan sehingga menjadi segar dan bersih : … yaitu dihari harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (QS. Asy-Syura’: 88-89)[8]
    Dalam hadits banyak juga pembicaraan tentang hati seperti sabda-sabda Rasulullah saw. berikut :
    Ketahuilah, sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, maka seluruh tubuh juga akan baik. Namun apabila ia rusak maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, sesungguhnya segumpal darah itu adalah hati.” (HR. Bukhari)
    Ada empat bentuk hati : hati yang bersih seperti pelita yang benderang didalamnya, hati yang tertutup dan terikat pada tutupnya, hati yang terbalik dan hati yang berlapis. Hati yang bersih adalah hati seorang mukmin lenteranya adalah cahaya didalamnya. Sedangkan hati yang tertutup adalah hati orang kafir, hati yang terbalik adalah hati orang munafik, dan hati yang berlapis adalah hati yang didalamnya terdapat iman dan kemunafikan. Iman yang ada dalam hati tersebut seperti sayur yang memperoleh siraman air yang segar, dan kemunafikan dalam hati itu seperti bisul yang dipenuhi darah dan nanah. Maka yang mana diantara dua yang dapat mengalahkan yang lain, maka itulah yang menang. (HR. Ibnu Katsir)
    Dengan demikian, hati merupakan alam yang sangat luas. Sakit dan sehatnya hati merupakan dua hal yang menentukan sejahtera tidaknya manusia didunia dan diakhirat. Jika demikian, jika hati sakit pasti terjadi pergolakan yang salah, sehingga manusia dengan hati yang sakit itu tetap berada dalam keadaan “gelisah dan bingung”, dan itu akan menyeret pada kerugian dan kebinasaan.
    Hati adalah hakikat spiritual batiniah dan sumber cahaya batiniah, inspirasi, kreatifitas dan belas kasih. Seorang sufi sejati hatinya hidup, terjaga dan dilimpahi cahaya. Seorang sufi menuturkan “Jika kata-kata berasal dari hati, ia akan masuk kedalam hati, namun jika ia keluar dari lisan, maka ia hanya sekedar melewati pendengaran.[9]

    b.Antara hati batiniah dan jasmaniah
    Hati jasmaniah terletak dititik pusat batang tubuh, hati batiniah terletak diantara diri rendah dan jiwa. Hati jasmaniah mengatur fisik dan hati batiniah mengatur psikis. Hati jasmaniah memelihara tubuh dengan mengirimkan darah segar dan beroksigen kepada tiap sel dan organ didalam tubuh, namun hati batiniah memelihara jiwa dengan memancarkan kearifan dan cahaya, dan ia juga menyucikan kepribadian dari sifat-sifat buruk. Hati memiliki satu wajah yang menghadap kedunia spiritual, dan satu wajah lagi menghadap kedunia diri rendah dan sifat-sifat buruk.
    Hati janganlah disalahartikan sebagai emosi (amarah, takut dan keserakahan yang berasal dari nafs). Ketika manusia berbicara mengenai hasrat hati mereka biasanya merujuk pada hasrat nafs. Nafs tertarik pada kenikmatan duniawi dan tidak peduli akan Tuhan, sedangkan hati tertarik kepada Tuhan dan hanya mencari kenikmatan didalam Tuhan.[10]

    c.Menyingkap Hati
    Hati dapat membuka mata dan telinga untuk merasakan lebih dalam realitas batiniah. Hati adalah sebuah kuil yang ditempatkan Tuhan didalam diri setiap manusia, sebuah kuil untuk menampung percikan Ilahi dalam diri. Dalam sebuah hadits Qudsi, Tuhan berkata, “Aku yang tak cukup ditampung oleh langit dan bumi, melainkan tertampung didalam hati seorang beriman yang tulus.” Kuil didalam diri kita ini lebih berharga daripada kuil tersuci sekalipun.
    Istilah Arab hati, yakni qalb, berasal dari akar kata ‘berbalik’, atau ‘berputar kembali’. Dalam satu pengertian hati spiritual yang sehat adalah seperti radar yang terus menerus berputar dan mengamati secara sepintas, tidak pernah terikat pada sesuatu pun didunia, ia selalu mencari yang suci.
    d.Empat Stasiun Hati
    Menurut Al-Tirmidzi, hati memiliki empat stasiun : dada, hati, hati lebih dalam dan lubuk hati terdalam. Keempatnya saling bersusun, dada adalah lingkaran terluar, hati dan hati lebih dalam berada pada kedua lingkaran tengah. Sedangkan inti dari hati terletak dipusat lingkaran.
    Tiap stasiun mewadahi cahaya sendiri. Dada mewadahi cahaya amaliah dari bentuk praktik setiap agama. Hati mewadahi cahayan iman. Hati lebih dalam mewadahi cahaya makrifat atau, pengetahuan akan kebenaran spiritual. Lubuk hati terdalam mewadahi dua cahaya, cahaya kesatuan dan cahaya keunikan yang merupakan wajah Ilahi.[11]
    Dada
    Hati
    Hati lebih dalam
    Lubuk hati terdalam
    Cahaya Amaliah

    Pencari

    Pengetahuan tentang tindakan yang benar

    Tirani
    Cahaya Iman                       

    Beriman

    Pengetahuan Batiniah

    Penuh penyesalan

    Cahaya Makrifat

    Arif

    Penglihatan Batiniah

    Terilhami
    Cahaya Kesatuan dan keunikan

    Bersatu

    Sikap Ilahiah


    Tenteram


    1.      Hati (Qalb)
    Ketika dada kita telah dibersihkan dan hati telah terbuka kita mulai mampu melampaui permukaan luar dan merasakan apa yang tersembunyi didalam. Hati berisikan prinsip-prinsip pengetahuan yang mendasar. Ia bagaikan mata air yang mengisi kolam pengetahuan didalam dada. Hati adalah akar dan dada adalah cabang yang diberi makan oleh hati. Pengetahuan batiniah dari hati maupun pengetahuan luar dari akal sama-sama penting.
    Pengetahuan batiniah adalah pemahaman terhadap realitas yang harus menyertai tindakan luar agar mampu memberinya makna dan kehidupan. Pengetahuan batiniah membutuhkan tindakan luar untuk mendukung dan memeliharanya, serta memperdalam melalui pengalaman. Fungsi hati : Cahaya iman, dan takut kepada Tuhan.[12]

    2.      Hati Lebih Dalam (FU’AD)
    Hati lebih dalam merupakan tempat penglihatan batiniah dan inti cahaya makrifat. Hati dan hati lebih dalam sangatlah berkaitan erat. Hati mengetahui sedangkan hati lebih dalam melihat. Fungsi dari hati lebih dalam : menyadari kehadiran Tuhan.[13]

    3.      Lubuk Hati Terdalam (LUBB)
    Luas dan cahaya lubuk hati terdalam bagaikan sumbu raksasa yang tak bergeming, sementara segala sesuatu berputar mengelilinginya. Dalam bahasa arab, lubuk hati terdalam bermakna ”inti” dan “pemahaman batiniah” yang merupakan dasar hakiki agama. Seluruh cahaya hati lainnya didasari oleh cahaya kesatuan dan cahaya keunikan dari lubuk hati terdalam.
    Lubuk hati terdalam dialiri oleh air kemurahan Tuhan. Akarnya dipadati oleh cahaya-cahaya kepastian. Tuhan memupuk lubuk hati terdalam secara langsung, tanpa perantara.[14]

    4.      Cahaya Hati
    Pemahaman spiritual adalah cahaya yang dipancarkan kedalam hati. Ia laksana lampu yang membantu kita untuk dapat melihat. Masing-masing cahaya yang telah digambarkan sebelumnya, cahaya amaliah, cahaya iman, cahaya makrifat, cahaya kesatuan, dan cahaya keunikan adalah serupa satu sama lain. Mereka berasal dari sumber Ilahiah yang sama.
    Tiap-tiap cahaya hati tersebutbagaikan sebuah gunung cahaya amaliah dalam dada sangatlah kuat dan mantap, sehingga tidak satupun didunia ini yang dapat menghancurkanya selama tuhan memeliharanya. Puncak gunung ini berjuang melawan sifa-sifat buruk dan melakukan perbuatan baik. Diatasnya bertengger seekor burung, yakni nafs tirani nafs yang berada pada tinkat terendah. Burung tersebut terbang dilembah penyembahan terhadap tuhan-tuhan palsu, kekafiran, keraguan, dan kemunafikan.[15]
    Nabi Muhammad bersabda: “dalam hati manusia terdapat banyak lebah dan jurang, dan didalam masing-masingnya terdapat tebing yang curam” kita tidak boleh membiarkan diri kita jatuh kedalam jurang keraguan dan kemunafikan. Gunung cahaya iman terletak didalam hati, dan diatasnya terdapat burung nafs yang terilhami, ia terbang didalam lembah kelemahan dan kejahatan. Gunung ini lebih tinggi dan lebih kokoh dari gunung cahaya amaliah.
    Dalam psikologi barat, penggambaran ini secara umum diputar balikan. Menurut teori psikilogi barat, kita didominasi oleh keterbatasan dan kelemahan kepribadian kita. Kecenderungan kita sangatlah kecil dan minim, bagaikan brung-burung kecil cahaya yang bertengger dipegunungn-kepribadian-gelap-kita yang terbatas.
    Psikologi sufi tentang hati adalah psikologi spiritual yang sangat dalam. Ia tidak mengabaikan kecenderunagan negative dan kita milika tapi menempatkan pada tempatnya. Dibandingkan cahaya hati batiniah, kecenderungan-kecenderungan ini relatf kecil dan tidak begitu berarti. Hanya bila kita membiarkan diri kita berpihak dan mengikuti merekalah mereka mengkuti kekuatan yang sebenarnya atas diri kita. Kita kan lebih arif sekiranya kita dapat berpihak pada cahaya dan kebenaran yang jauh lebih hebatyang berada dalam diri kita mengikuti petunjuknnya dan mengaktualisaikanya didalam keseharian hidup kita.
    Orag-orang yang beriman telah mencapai tingkat penyatuan, telah menyelam dalam samudra Illahi. ia lasana matahari illahi yang sampai sekarang tertabiri. Semakin dalam kita memyelaam kedalam hati kita, semakin dekat pula kita kepada Allah. Karenanya apa yang menahan kita utnuk menjelajahi kedalaman hati kita? Salah satu hambatanya adalah kebiasaan-kebiasaan negative kita. Setiap tindakan buruk pemperkeras hati dan membuatnya sulit diselami. Kita pernah mengalami penderitaan-penderitaan dalam hiubugan duniawiah kita, sehingga kita belajar untuk membentengi kita dari penderitaan lainya. Hambatan lainya adalah kecenderunagn kita untuk menggapai kebahagiaan dan kepuasan lahiriah, dan bukanya batiniah. Untuk itu kita mencari kepuasan didunia, kia lupa mencarinya dalam diri kita yang berisikan tujuan yang ingin dicapai kita semua, baik disadari maupun tidak.

    1.3 JIWA
    a. Asal Muasl Kita: Kisah Tentang Turunnya Sang Jiwa
    Kisah turunnya sang jiwa berikut ini dikutip dari tulisan Hazreti Hakki Eruzumi, seorang sufi asal Turki. Ia memulai dengan penciptaan alam semesta dan turunnya jiwa individual menjadi benda materi.
    Alam semesta dimulai dengan perintah Tuhan, Kun, “Jadilah!” dengan kata tersebut alam semesta mulai terbentang. Dalam bahasa Arab, Kun terdiri dari dua huruf, yakni kaf dan nun. Kaf mewakili kata kamal, atau “kesempurnaan,” dan Nun mewakili kata nur atau “cahaya”. Maka wujudlah penciptaan dari cahaya kenabian, atau cahaya murni yang mendahului alam semesta. Ia bangunan tempat jiwa-jiwa dan benda material dibangun. Ia bagaikan logos-nya kaum yunani, yakni pemikiran yang mendahului energi dan zat. Segala sesuatu terbuat darinya kecuali Tuhan.
    Tuhan menciptakan jiwa sebelum benda materi. Jiwa berada di dunia yang lebih halus, sebuah dunia yang lebih dekat dengan Tuhan. Disini sejatinya tidak ada tabir antara jiwa dan Tuhan. Kita telah wujud selama satu milenium di dunia yang halus, duduk di dekat kaki Tuhan, bermandikan cahaya Tuhan, dan Tuhan bertanya kepada jiwa, “Apakah Aku Tuhan Kalian?” Suara Tuhan menjadi akar dari semua musik yang menyentuh hati, menyemangati, dan membahagiakan kita. Jiwa mengetahui bahwa Tuhan telah menciptakan mereka. Mereka selaras dengan kehendak Tuhan, dan mereka sangat bersemangat berada di dalam hadirat-Nya.
    Tuhan kemudian mengirim jiwa individual tersebut ke dunia material, ia pun terbenam di dalam masing-masing dari empat elemen ciptaan. Pertama, ia melewati air dan menjadi basah; lalu melewati tanah dan menjadi berlumpur. Kemudian ia melewati udara dan menjadi tanah liat. Kemudian, ia melewati api sehingga menjadi tanah liat panggang. Dengan demikian jiwa nonmateri melewati seluruh elemen dasar materi yang menghasilkan dunia materi, dan jiwa cahaya menjadi tersimpan di dalam wadah tanah liat, yakni tubuh.
    Hal ini tidak hanya mengikutsertakan tubuh material, tetapi juga emosi, pikiran dan tenaga. Tingkat perwujudan yang beragam ini dirangkum oleh keempat elemen tersebut. Jiwa tersebut masih bersifat sempurna, suci, dan dekat dengan Tuhannya, namun kini telah tertabiri, dan tersembunyi. Namun, bersama dengan jiwa, Tuhan mengutus sifat-sifat ketuhanan, sehingga tiap-tiap individu adalah perantara antara surga dan dunia.
    Sayangnya, begitu kita terwujud dalam bentuk materi, kita menjadi buta terhadap rahasia di dalam diri kita tersebut. Sebagai makhluk materi, kita tidak dapat mewujudkan sifat-sifat ketuhanan tersebut, kita sangat tertarik pada benda-benda duniawi.
    Namun, Tuhan juga memberikan kita pelbagai alat untuk kembali pada tingkat kesadaran azali kita, untuk keluar dari wadah tanah liat. Alat-alat tersebut adalah akal dan kehendak. Akal memberikan kita kemampuan untuk membedakan yang benar dan yang buruk, dan kehendak memberikan kita kemampuan untuk memilih tindakan yang benar. Kita semua memiliki kehendak ini, namun hanya segelintir dari kita yang menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Prinsip dasarnya sangat sederhana. Seperti dikatakan Nabi Muhammad, “Kerjakanlah yang halal dan baik; jangan kerjakan yang haram dan buruk, dan jika ragu, ...  janganlah bertindak sampai kau merasa yakin”. Ini sangatlah sederhana, tapi menjadi begitu bsulit, karena kehendak yang ada tidaklah kuat. Sering kali kita mengetahui apa yang harus kita lakukan, namun kita tidak melakukannya; ego kita pun mengambil alih dan kita kemudian membuat alasan-alasan untuk diri kita.[16]

    b.Pengertian Jiwa
    Istilah jiwa dalam bahasa Arab, yakni ruh, juga berarti “roh” dan “napas”. Difirmankan di dalam Al-Quran, “Telah Kusempurnakan kejadiannya (Adam), dan Kutiupkan ke dalamnya roh-Ku”. Tingkatan tertinggi jiwa yakni yang maharahasia adalah percikan dari ruh Tuhan. Masing-masing jiwa memiliki kedinamisan, kebutuhan, dan kekuatan sendiri-sendiri. Pada saat yang berbeda, jiwa-jiwa yang berbeda mungkin saja mendominasi. Mengetahui jiwa mana yang lebih aktif dalam informasi yang penting bagi seorang guru sufi. Sebagai contoh, sebuah mimpi yang datang dari jiwa yang satu akan ditafsirkan dengan sangat berbeda dari sebuah mimpi dari jiwa lainnya.[17] 

    c.Tingkatan Jiwa
    1.    1.  Jiwa Mineral
    Jiwa mineral adalah bahan dasar yang ditempati oleh wujud materi kita. Ia terletak di dalam system kerangka, berbatasan dengan sirr al-asrar (jiwa maharahasia). System kerangka yang dimaksud adalah struktur batiniyah yang tersembunyi di dalam tubuh kita, ibarat kerangka tubuh kita yang tersembunyi di dalam tubuh.[18]
    Jiwa mineral, ruh maddani, terletak di dalam sistem kerangka. Di dalam diagram tujuh aspek jiwa, jiwa mineral berbatasan dengan jiwa maharahasia, wadah percikan ilahi yang suci di dalam diri masing-masing kita. Dunia mineral sangatlah dekat dengan Tuhan. Ia tidak pernah memberontak kepada kehendak Ilahi. Dimanapun sebuah batu ditempatkan, ia akan tetap berada di situ selamanya, kecuali kekuatan diluar dirinya menggesernya.
    Seperti halnya kerangka tubuh kita yang tersembunyi di dalam tubuh, terdapat juga struktur batiniah yang tersembunyi di dalam tubuh kita yang sebagian besarnya adalah mineral, yakni sistem kerangka. Jiwa mineral juga tersembunyi. Jika seseorang bertanya mengenai gambaran jiwa mineral Anda, Anda mungkin tidak akan mengetahui bagaimana untuk memulainya. Namun, apa yang sulit kita ketahui, yakni yang sering kita terima sebagaimana adany, seringkali nerupakan suatu hal yang amat berharga.[19]
    2.   
         2. Jiwa Nabati
    Jiwa Nabati, yakni ruh nabati, terletak di dalam hati (dalam artian fisik-pen) dan terkait dengan system pencernaan. Yang mengatur pertumbuhan dan asimilasi dari bahan-bahan makakan, fungsi yang kita bagi dengan tanaman. Ini adalah fungsi yang baru, dalam kontek evolusioner, sebab dunia mineral tidak memiliki kebutuhan akan makanan. Dengan kata lain, terdapat jiwa di dalam tubuh kita yang serupa dengan jiwa yang diberikan dengan Tuhan kepada tumbuhan.
    Ketika kita berada di dalam rahim, kita sepenuhnya berfungsi sebagai jiwa tumbuhan, kita dihubungkan pada rahim ibu kita dengan tali pusar, yang berfungsi sebagai penyalur makanan. Kita berkembang dan tumbuh lebih besar, dan hanya itulah yang kita lakukan. Fungsi kita pada hakikatnya serupa dengan fungsi tumbuhan.
    Terdapat kecerdasan yang luar biasa di dalam jiwa tumbuhan. Kita umumnya mengabaikan kecerdasan ini. Sebab, kita terlalu memberikanpenghargaan terhadap kecerdasan abstrak akal kita. Namun, seberapapun tingginya gelar akademis yang kita miliki, kita tetap tidak mengetahui bagaimana mencerna sebutur kacang ataupun sepotoong roti. Kita tidk mengetahui cara menumbuhkan rambut di kepala kita. Fungsi jasmaniah mendasar ini dimiliki sepanjang usia jiwa tumbuhan.[20]
    3.   3.   Jiwa Hewani
    Jiwa hewani, atau ruh haywani, terletak di dalam hati dan berhubungan dengan system peredaran darah. Hewan memiliki empat bilik hati dan system peredaran darah yang kompleks, yang mengalirkan darah ke seluruh organisme (pada reptil), system peredaran darah belum sepenuhnya berkembang, dan reptil hanya memiliki tiga bilik jantung. Akibatnya, kemampuannya bergerak menjadi terhambat, dan reptil membutuhkan udara yang hangat untuk dapat bergerak secara aktif. System peredaran darah pada mamalia yang lebuh berkembang, menahan hawa panas dengan lebih baik, sehingga membuat mamalia lebih aktif di dalam berbagai iklim.
    Jiwa hewani kita mencakup rasa takut, amarah, dan hasrat. Seluruh makhluk cenderung untuk mendekati apapun yang mendatangkan hasil (hasrat) dan bergerak menjauhi diri (rasa takut) atau menolak atau amarah apapun yang menyakitkan. Bertahun-tahun sudah psikologi behavior memutuskan diri pada respons-respons dasar ini terhadap dunia dengan mengkaji efek dari hadiah dan hukuman (reward and punnishment).[21]

    4.  4.    Jiwa Pribadi
    Sisi berikutnya dari keseluruhan jiwa adalah ruh nafsani. Jiwa pribadi terletak pada otak dan terkait dengan system syaraf. Jika perkembangan jantung dan system peredaran darah membedakan hewan dari tanaman, maka perkembangan system syaraf yang kompleks membedakan manusia dari hewan. System syaraf yang sangat maju ini menghasilkan kapasitas untuk memori yang lebih besar dan untuk perencanaan dan pemikiran yang lebih kompleks. Kecerdasan jiwa pribadi membuat kita mampu memahami lingkungan kita yang jauh lenih dalam daripada kemampuan yang dimiliki oleh mineral tumbuhan dan hewan.
    Jiwa pribadi juga tempat ego. Kita  memiliki ego negatif. Ego positif mengatur kecerdasan kita dan memberikan kepekaan terhadap diri kita sendiri. Ia dapat berupa tekanan untuk menghargai diri sendiri, bertanggung jawab, dan integritas. Disisi lain ego negatif adalah tekanan untuk bersikap egois, angkuh dan merasa terpisah dari manusia lainnya dan Tuhan. Ego positif adalah teman yang baik di jalan spiritual. Ia dapat memberikan ketentraman batin saat guncangan-guncangan tak terhindarkan muncul selama kita berada di jalan spiritual. Ego negatif adalah musuh. Ia merusak pandangan kita dan mencemari hubungan kita dengan dunia. Jiwa pribadi terletak di dalam neocortex. Yakni system terbesar dari system otak kita.[22] 

    5.  5.    Jiwa Insani
    Ruh insani, terletak di dalam qalb, yakni hati spiritual. Jiwa insani lebih baik dari jiwa pribadi. Ia adalah bejana dari rasa kasih sayang, kecintaan, keimanan, dan kreativitas. Ia adalah tempat pengalaman-pengalaman spiritual.
    Kretivitas dan belas kasih berlangsung di dalam hati, dan pertama kali muncul di tingkat jiwa ini, sedangkan otak yang berkembang di dalam jiwa pribadi laksana sebuah komputer yang berfungsi untuk menyimpan data, memori, dan manipulasi data, tetapi tidak dengan penciptaan informasi baru. Penciptaan informasi baru adalah hasil kreativitas yang berlangsung di dalam hati. Sayangnya, system pendidikan kita lebih banyak menekan pada pengembangan nalar (intelektualitas) daripada pendidikan kepekaan hati, yang dipupuk oleh seni, ibadah, cinta serta pengabdian yang tulus terhadap sesama manusia.[23]
    Kecerdasan hati jiwa insani dan kecerdasan abstrak jiwa pribadi saling melengkapi. Berpikir adalah berkaitan dengan analisis impersonal dan logis. Hati menambahkan belas kasih dan keimanan. Menggabungkan keduanya membawa kita kepada penilaian yang lebih baik. Akal mengetahui apa yang palin efektif, sementara hati mengetahui apa yang benar.[24]

    6.      6.Jiwa Rahasia
    Jiwa rahasia adalah bagian dari diri kita yang mengingat Tuhan. Jiwa rahasia, atau kesadaran batiniah, terletak di dalam hati batiniah. Jiwa inilah yang mengetahui dari mana ia datang dan kemana ia pergi. Seorang guru sufi menulis, “Tubuh sepenuhnya dalam kegelapan, lampunya adalah kesadaran batiniah. Jika seseorang tidak memiliki kesadaran batiniah, maka orang tersebut berada di dalam kegelapan selamanya.
    Sebelum jiwa-jiwa berubah wujud, Tuhan berkata kepada mereka; “Apakah Aku Tuhanmu?” dan jiwa-jiwa tersebut “Sungguh benar”. Jiwa yang memberi respon tersebut adalah jiwa rahasia. Jiwa rahasia mengetahui dirinya sebelumnya, dan ia kini masih mengetahuinya. Selama berabad-abad, jiwa rahsia hisup sangat dekat denmganTuhan bermandikan cahaya dari hadirat-Nya. Hanya pada inkarnasi ke alam material inilah kita kehilangan rasa ketertarikan.[25] 

    7.    7.   Jiwa Maharahasia
    Sirr al asrar mencakup suatu yang benar-benar transendental, melampaui ruang dan waktu. Ini adalah jiwa ajali (ruh) yang ditiupkan oleh Tuhan ke dalam diri adam-dalam diri manusia. Ia adalah inti kita, jiwa dari sang jiwa. Ia adalah percikan Ilahi yang suci di dalam diri kita. Imajinasi kita berkenaan dengan penciptaan manusia harus dikembangkan. Kita tidak semata-mata berfikir seprti heawa, kita juga bukanlah semata kepribadian kita sendiri. Kemampuan kita bagi pengembangan dan pemahaman spiritual benar-benar tidak terbatas.[26]

    1.4 NAFS
    a. Nafs Menurut Konsep Al-Qur’an
    Dalam bahasa arab, nafs mempunyai banyak arti, dan salah satunya adalah jiwa. Oleh karena itu, ilmu jiwa dalam bahasa arab disebut dengan nama “ilmunnafs” nafs dalam arti jiwa telah dibicarakan para ahli sejak kurun waktu yang sangat lama. Dan persoalan nafs telah dibahas dalm kajian filsafat, psikologi dan juga ilmu tasawuf.
    Dalam psikologi, nafs lebih dihubungkan dengan tingkah laku sehingga yang diselidiki oleh psikologi adalah perbuatan-perbuatan yang dipandang sebagai gejala-gejala dari jiwa. Mereka memandang jiwa  atau nafssebagai sesuatu yang berada dibelakang tingkah laku.[27]
    Sedangkan dikalangan ahli tasawuf nafs diartikan sebagai sesuatu yang melahirkan sifat, bisa juga bermakna ego atau diri, yakni realitas (hakikat) atau substansi (dzat) manusia. Gagasan tentang nafs sering disebut ego dan ide tempat dorongan instinktif, yang mendorong manusia kearah kejahatan, asal usul kejahatan dan sumber kecenderunganya hanya untuk mencari kesenangan.
    Menurut Al-Gazali, nafs memiliki dua pengertian: pertama, bahwa yang dimaksud dengan nafs adalah yang menghimpun pada kekuatan ghaddab (marah) dan nafsu syahwat pada manusia.  Penggunaan kata nafs oleh ahli tasawuf seringkali dikonotasikan sebagai pokok yang menghimpun sifat tercela (mazmumah) pada manusia. Mereka para sufi berusaha untuk melawan dan menghancurkan nafs sebagaimana Nabi Muhammad memberikan isyarat dengan sabdanya: (musuhmu yang terbesar, ialah nafsu yang berada diantara dua lambungmu). Pengertian kedua, nafs adalah sesuatu yang halus (latifah) dan itulah hakikat manusia yaitu diri dan dzatnya.
    Menurut perspektif psikologi sufi nafs adalah buah aspek psikis yang kecenderungannya adalah memaksakan hasrat-hasratnya dalam upaya memuaskan diri.[28]

    b.Tingkatan-Tingkatan Nafs

    1.   1.   Nafs Tirani
    Tingkat nafs amarah ini, juga diterjemahakan sebagai “nafs yang memerintah “. “nafs yang mendominaasi” atau nafs yang menyuruh pada kejahatan”. Istilah amarah secara literatur berarti “peritah atau kebiasaan yang berulang-ulang,” sehingga tingkat ini juga dapat juga disebut sebagai “nafs uang menngganggu” nafs tirani berusaha untuk mendominasi dan mengendalikan pikiran serta tindakan kita. Sialnya ia seringkali berhasil.
    Sebagai orang yang didominasi oleh nafsu tirani ini mungkin saja melakukan amalan-amalan kkeagamaan, namun hanya merupakan pameran belaka yang dirancang hanya untuk mendapatkan penghargaan orang lain. Menurut perkataan seorang syekh ‘nafs adalah sifat yang menjadikanya tenang berda dalam ketidak jujuran; menjadi tidak tenang hanya dengan segala selain sesuatu selain Allah, nafs tidak akan pernah tunduk pada perintah Allah.[29]

    2.   2.   Nafs Penuh Penyesalan
    Dibawah kekeuasaan nafs tirani, kita pada dasarnya menjadi tidak peka dan tidak sadar kitak tidak dapat melihat wilayah tempat kita berada, dan kita tidak mnyadari bahaya yang kita peruntukan bagi diri kita sendiri dan orang lain. Walaupun ia bersifat lemah pada mulanya, namun begitu cahaya iman dan pemahaman batinya tumbuh, kita bisa melihatnya secara jernih, mungkin untuk pertama kalinya, didalam Al-qur’an ayat yang menyebutkan nafs yang penuh penyesalan (nafs lawamah) dan “dan aku bersupah dengan jiwa yang pennuh penyesalan.” Maka kata lawamah adalah menolak amalan buruk dab memohon ampunan Allah setelah kita menyadari perbuata buruk tersebut. Pada tingkatan ini, kita mmulai memahami dampak negatif pendekatan egois kita terhadap dunia walaupun kita tidak memiliki kemampuan untuk berubah.[30]

    3.     3. Nafs Terilhami
    Pada tingkat ke tiga ini, kita mulai merasakan ketenangan sejati, kita mulai merasakan kesenangan sejati didalam berdoa, meditai, dan kegiatan spiritualnya kita mulai mengalami sendiri kebenaran spiritual yang selama ini hanya kita dengar dan kita baca. Kita mulai mearasakan cinta hakiki kepada tuhan dan kepada ciptaan-Nya. Ini uga merupakan awal dari praktik tasawuf yang sejati.
    Bahaya nafs yang terilhami. Tingkat ini nafs yang terilhami, adalah titik tolak yang kritis. Keburukan-keburukan nafs tirani dan perjuangan tidak berujung dari nafs yang penuh penyesalan telah berlalu. Namun, kitabelumlah berada di tempat yang aman. Ego negatice masih sangat utuh dan dapat membawa kita ke jalan yang salah seperti yang telah ditampakan oleh wilayah kaum munafik.[31]

    4.      4. Nafs Yang Tentram
    Penguasa tingkat ini adalah kearifan dan perdana mentrinya adalah cinta, sifat-sifat nafs yang tentram ini mencakup keyakinan terhadap tuhan, perilaku baik, kenikmatan spiritual, pemujaan, rasa syukur, dan kepuasan hati. Menurut syekh safer, kita aman dari pengrusakan besar ego negativenya, hany setelah kita sampai padatingkat ini, dan bahkan pada tingkat ini dan tingkat selanjutnya, ego negative masih dapat mempengaruhi kita, walaupun hanya sementara tuhan secara langsung menyeebut tingkat nafs ini dalam ayat Al-qur’an berikut ini: “hai jiwa yang tentram kembalilah pada tuhanmu, dengan ridha dan diridhai.”[32]

    5.  4.    Nafs Yang Rida
    Pada tingkat inikita tidak hanya merasa puas terhadap takdir kita. Kita juga merasa puas terhadap segalakesulitan dan ujian. Ujian kehidupan yang juga berasal dari tuhan. Kondisi nafs yang ridha ini sangatlah berbeda dengan cara yang biasa kita lakukan didialam menjalani kehidupan dunia ini. Kita menyadari bahwa kita bicara kontinue dikelilingi oleh rahmat dan belas kasijh tuhan. Ketika rasa syukur dan cinta kita kepada tuhan demikian besarnya, bahkan yang pahitpun terasa manis bagi kita maka kita telah mencapai stasiun nafs yang ridha. Ciri-ciri lain dari tingkat ini adalah keajaiban, kebebasan, ketulusan, perenungan dan ingat kepada tuhan.[33]

    6.     5.  Nafs Yang Diridai Tuhan
    Ibnu ‘Arabi meunjukan bahwa ini adalah tingkat pernikahan batiniah antara diri dan roh. Didalam bahasa arab, diri adalah peminim dan roh adalah maskulin. Dia menuliskan bahwa pernikahan batiniah ini menghasilkan seorang anak, yang berada di dalam hati. Roh memberi ilham kepada diri untuk mengangkat dirinya sendiri, kemudian diikuti oleh hati. Pertempuran batiniah dan perasaan keserbaragaman telah tiada. Kita tidfak lagi terpisah antara hasrat materi kirta dan hasrat kita akan tuhan. Pada tingkat ini, kita memperoleh kesaktian batiniah yang sejati dan utuh, kita merasakan dunia sebagai satu kesatuan yang utuh, kita menjadi manusia yang sejati. Pada tingkat ini kita menyadari bahwa seluruh kegiatan untuk bertindak datang dari tuhan, kita tidak melakukan sesuatu apapun dengan sendirinya. Kita tidak lagi merasa takut terhadap segala sesuatu atau meminta segala sesuatu apapun. Kita tidak lagi memiliki hasrat untuk berbicara atau berkomunikasi. Hiasan luar kita telah di binasakan, namun hiasan dalam kita telah menjadi istana, hati kita berada di dalam ekstase.[34]

    7.     6.  Nafs Yang Suci
    Nafs yangf suci. Segelintir orang yang mencapai tingkat ini telah melampaui diri secara utuh. Tidak lagi ada ego ataupun diri. Yang tertinggal hanyalah kesatuan dengan tuhan. Inilah kondisi yang dinamakan “mati sebelum mati”
    Mencapai tingkat nafs yang suci. Tahap ini digambarkan oleh syekh Naqsabandiyah penempuh jalan kebenaran, sebuah contoh yang jelas tentang seseorang yang mentransformasikan dirinya. karena ia termasuk orang yang mengetahiui permasalahan ini secara utuh.[35]


    III. PENUTUP
    Kesimpulan
    Manusia merupakan suatu entitas yang didalam terdapat unsu-unsur yang tentuanya menjadikan manusia itu hidup dan berkembang baik fisik dan terutama spiritualnya. Entitas itu terdiri dari Ruh yang merupakan essensi/ substansi ke-Tuhanan yang diletakkan dalam jasad, merupakan sumber kehidupan dan sumber moral yang baik. Ia merupakan sesuatu yang halus, bersih, dan bebas dari pengaruh hawa nafsu. Ar-Ruh Adalah hakikat dari manusia yang dengannya manusia dapat hidup dan mengetahui segala sesuatu yang bersifat spiritual. Ia adalah zat murni yang tinggi, hidup, dan hakikatnya berbeda dengan tubuh. Semua manusia memiliki ruh sebagai potensi untuk mengetahui mengetahui eksistensi Tuhan dan merasakan keberadaan Tuhan.
    Kemudian Jiwa, Tuhan menciptakan jiwa sebelum benda materi. Jiwa berada di dunia yang lebih halus, sebuah dunia yang lebih dekat dengan Tuhan. Disini sejatinya tidak ada tabir antara jiwa dan Tuhan. Sering orang menyebutnya dengan nyawa, Karena apalah arti tubuh kita tanpa jiwa, ia adalah ruh yang sudh menyatu dengan jasad sehingga menjasdi entitas dalam tubuh/raga manusia. Robert Frager membagi jiwa kedalam beberapa tingkatan (Jiwa Mineral, Nabati,Hewani, Pribadi, Insani, Rahasia, Maharahasia) dan masing tingkatan itu memiliki peran da fungsinya masing-masing.
    Nafs banyak yang berbeda persepsi tentang nafs ini, ada yang menyebutkan nafs sama dengan jiwa, nafs sama dengan ruh. Akan tetapi pada hakikatnya nafs adalah sesuatu yang halus (latifah) dan itulah hakikat manusia yaitu diri dan dzatnya. Nafs  sebagai sesuatu yang melahirkan sifat, bisa juga bermakna ego atau diri dan ide tempat dorongan instinktif, yakni realitas (hakikat) atau substansi (dzat) manusia. Sama halnya dengan jiwa nafs pun di klasifikasikan kedlam beberapa tingkatan (Nafs Tirani, Penuh penyesalan, Terilhami, Tentram, Ridha, Diridai, Yang suci/Sempurna)
    Dan Hati  adalah segumpal daging yang diman jik ia baik maka baik pula lah seluruhnya, Hati adalah hakikat spiritual batiniah dan sumber cahaya batiniah, inspirasi, kreatifitas dan belas kasih. Ada dua pengertian tentang hati yaitu hati jasmaniah dan hati batiniah. Hati jasmaniah terletak dititik pusat batang tubuh, hati batiniah terletak diantara diri rendah dan jiwa, Hati jasmaniah mengatur fisik dan hati batiniah mengatur psikis. Keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Secara batiniah hati bukanlah tempat emosi (marah,sedih , dll) akan tetapi  Hati dapat membuka mata dan telinga untuk merasakan lebih dalam realitas batiniah. Menurut imam Tirmidzi hati mempunyai 4 stasiun yaitu: Hati (Qalb), Hati Lebih Dalam (fu’ad), Lubuk Hati Terdalam (Lubb),Cahaya Hati
    Seorang manusia sejati yang hatinya hidup, jiwanya bersih, nafsnya terjaga dan senantiasa menghiasi ruhnya dengan perbuatan baik, akan  terjaga dan dilimpahi cahaya yang menjadi sumber kehidupan dan sarana untuk kita mengenali Tuhan sebagai pencipta, menyelami samudra kehidupan dalam esensi sebagai manusia/insan yang kamil.











    DAFTAR PUSTAKA

    FRAGER, ROBERT, PSIKOLOGI SUFI UNTUK TRANSFORMASI HATI,DIRI,JIWA (Jakarta: SERAMBI, 2002)
    Gojali, Muhtar, PSIKOLOGI TASAWUF( Bahan Ajar Mata Kuliah Psikologi Tasawuf Prodi Tasawuf Psikoterapi PTAI Dan Umum) (Bandung: T.P, 2016)
    Hawa, Sa’id, JALAN RUHANI (Bandung: MIZAN, 1997)
    Mubarok Achmad, JIWA Dalam AL-QUR’AN (Jakarta: PARAMADINA, 2000)
    Nurbakhsyi, Javad, PSIKOLOGI SUFI (Yogyakarta: Pyramedia Yogyakarta, 2008)




    [1] Sa’id Hawa, JALAN RUHANI (Bandung: MIZAN, 1997).55
    [2] Muhtar Gojali, PSIKOLOGI TASAWUF( Bahan Ajar Mata Kuliah Psikologi Tasawuf Prodi Tasawuf Psikoterapi PTAI Dan Umum) (Bandung: T.P, 2016). 81
    [3]Gojali.81
    [4] Gojali.82
    [5] Gojali.83-84
    [6] Hawa.55-57
    [7] Hawa.
    [8] Hawa.
    [9] ROBERT FRAGER, PSIKOLOGI SUFI UNTUK TRANSFORMASI HATI,DIRI,JIWA (Jakarta: SERAMBI, 2002).52-53
    [10] FRAGER.55-56
    [11] FRAGER.57-58
    [12] FRAGER.61-66
    [13] FRAGER.66-68
    [14] FRAGER.68-71
    [15] FRAGER.71-73
    [16] FRAGER.40-42
    [17] FRAGER.139
    [18] Gojali.93
    [19] FRAGER.140
    [20] FRAGER.145-146
    [21] FRAGER.147-148
    [22] FRAGER.150-152
    [23] Gojali.102
    [24] FRAGER.153-154
    [25] FRAGER.154
    [26] Javad Nurbakhsyi, PSIKOLOGI SUFI (Yogyakarta: Pyramedia Yogyakarta, 2008).
    [27] Mubarok Achmad, JIWA Dalam AL-QUR’AN (Jakarta: PARAMADINA, 2000).
    [28] Gojali.61
    [29] FRAGER.90
    [30] FRAGER.107
    [31] FRAGER.112
    [32] FRAGER.118
    [33] FRAGER.122
    [34] FRAGER.124
    [35] FRAGER.127
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.